SAMPANG: HANTU OTORITARIAN SEDANG MEMBAJAK DEMOKRASI DESA
Orde baru telah tumbang, setelah pemimpin otoritarian berkuasa selama 32 tahun. Hal ini menjadi catatan sejarah panjang dalam perjalan bangsa Indonesia. Jatuhnya orde baru bukan tanpa sebab, salah satu jadi pemicunya ialah situasi ketatanegaraan saat itu. Selama berkuasa soeharto memanfaatkan lembaga alat kelengkapan negara harus patuh terhadapnya. Dalam catatatn literatur, Aparat Peneguk Hukum (APH) menjadi kaki tanganya untuk membumi hanguskan para pengkritik yang berbeda pandangan dengan arah kebijakannya. Watak otoritarian cenderung berkuasa sepihak tanpa mendengarkan masukan orang lain. Menganggap kendali kebijakannya berada di tangan satu individeu.
Era reformasi telah berjalan. Alih-alih membunuh semangat otoritarian, justru sebaliknya, semangat otoritian terus muncul sebagai hantu gentayangan bagi setiap Kepala Daerah. Seakan-akan sedang meniru gaya kepemimpinannya Presiden Soeharto dengan tangan besinya. Watak otoritarian yang dimiliki oleh Kepala Daerah tidak jauh beda dengan era orde baru. Atas nama pembangunan daerah sebagai jurus pamungkas jadi alasannya.
Nampaknya, hantu otoritarian orde baru sudah mulai bergentayangan di Kabupaten Sampang. Bupati Sampang Slamet Junaidi sudah mulai memakai cara-cara otoriter dalam mengurus dan mengelola roda pemerintahan daerahnya. Tidak ada lagi aspirasi masyarakat didengar. Baginya, asprasi masyarkat hanya buih-buih kosong yang berseleweran di jalanan dan tidak perlu ditanggapi secara serius. Sejalan apa yang dikatakan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di dalam bukunya “How Democracies Die” kalau para pemain utama oposisi, media, dan lembaga penampung aspirasi rakyat dibeli atau dipinggirkan, sudah tentu oposisi jadi gembos. Seketika itu, demokrasi sudah jadi lumpuh di Daerah Kabupaten Sampang.
Ironis memang, itulah wajah demokrasi yang terjadi di Kabupaten Sampang akhir-akhir ini. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang mengerahkan birokrat, jajaran bawahanya, dan buzzer untuk memoles citra positif sebagai pemerintah daerah yang baik dan pro masyarakat bawah. Pemberitaan media lokal dan buzzer membuat masyarakat sampang gampang terpengaruh tanpa melihat kebenaran berita tersebut. Akibatnya, terjadilah polarisasi di tengah masyarakat. Tentu, sangat berbahaya bagi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat dan bersosial.
H. Idi yang merupakan kader Partai Nasdem itu telah merusak tatanan sendi-sendi demokrasi di Kabupaten Sampang. Terbaru, ia sudah melakukan pembajakan demokrasi lokal di 143 Desa. Pembajakan tersebut dilakukan dengan penundaan Pemilihan Kepala Desa di tahun 2025. Sejak 2021, 143 desa tersebut dipimpin seorang Pejabat (PJ) Sementara. Tanpa ada kejelasan normatif, hak warga untuk memilih pemimpin di desanya dirampas tanpa ada payung hukum yang jelas. Untuk memuluskan niat jahatnya, H. Idi melakukan lobi-lobi kepada Rudi Kurniawan selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sampang periode 2024-2029, yang juga merupakan keponakannya sendiri, supaya lembaga legislatif menyepakati juga penundaan penyelenggaraan Pilkades tahun 2025.
Pada tanggal 20 Februari 2025 H. Slamet Junaidi dan Ahmad Mahfudz dilantik sebagai Bupati Sampang dan Wakil Bupati Sampang. Kader Partai Nasdem itu menjabat lagi periode ke-2 sebagai Bupati Sampang setelah memperoleh suara 53,5% dari lawannya. Persoalan penundaan ini mucul, saat periode pertama H. Idi menjabat sebagai Bupati Sampang, Darurat Pandemic (Covid-19) dimanfaatkan sebagai alasan untuk menerbitkan Surat Keputusan (SK) Bupati Nomor 188.45/272/KEP/434.013/2021 mengenai penundaan Pilkades di tahun 2021. Warga mungkin menoleransi bahkan mendukung cara-cara otoriter selama krisis keamanan, terutama bila mereka menghawatirkan keselamatan.
Selama berjalannya pemerintahannya H. Idi, tidak ada juga tanda-tanda untuk mempersiapan pilkada hinga penghujung tahun. Bahkan, pemkab sampang berdalih melalui Plt. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Sampang, Sudarmanto menyatakan, bahwa untuk melaksanakan Pilkades harus menunggu Peraturan Pemerintah (PP) dan Permendagri turun atau aturan teknisnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2024 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.Tanpa PP Pilkades tidak dapat dilaksanakan.
Pernyataan yang dilontarkan Sudarmanto sangat sesat bahkan membodohi publik. Tidak ada ditemukan satu teori yang mengatakan, bahwa untuk menjalankan suatu roda pemerintahan harus nunggu PP turun. Di dalam bukunya Yuliandri mengatakan, bahwa meskipun PP belum terbit sekalipun, UU tetap memiliki kekuatan hokum dan dapat dijalankan. Namun, jika ada konflik norma antara UU dan PP, PP harus sesuai dengan UU.
Apabila kita tarik ke belakang dalam situasi di Tahun 2021, di dalam konsiderannya terdapat suatu alasan yang kurang logis yakni adanya situasi bencana non alam (Covid-19). Padahal, di dalam Permendagri Nomor 72 Tahun 2020 tidak ditemukannya satu pasal untuk menunda Pilkades. Adanya bagaimana teknisnya untuk menyelenggarakan Pilkades di situasi Pandemi Covid-19.
Melalui adanya perubahan ke-2 UU Desa, tentunya aturan UU Desa yang baru pada dasarnya hanya menekankan pada tiga hal saja: 1) berkaitan dengan masa jabatan kepala desa; 2) berkaitan dengan adanya tunjangan kepala desa; 3) dan syarat jumlah calon kepala desa dalam pemilihan.
Artinya UU desa tidak menjelaskan hal yang berkaitan tentang perpanjangan masa jabatan kepala desa yang sedang menjabat pada dewasa ini. Jika mengamati ketentuan Pasal 118 huruf (e) UU Desa dijelaskan disana bahwasanya “Kepala Desa yang berakhir masa jabatannya sampai dengan bulan Februari 2024 dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.” pada Pasal a quo dapat dipahami bahwasanya perpanjangan masa jabatan Kepala Desa ialah mereka yang sedang menjabat yang jabatannya habis pada bulan februari 2024. Sedangkan kondisi yang terjadi di Sampang adalah Kepala Desa yang masa jabatanya selesai di tahun 2021. Namun, oleh Pemerintah Kab. Sampang melalui Keputusan Bupati Nomor 188.45/272/Kep/434.013/2021 diperpanjang sampai di tahun 2025.
Dengan demikian, maka Kepala Desa ini yang dimaksud di atas tidak termasuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 118 huruf (e) UU Desa. Selain itu, dalam aturan yang dituangkan melalui Keputusan Bupati Nomor 188.45/272/Kep/434.013/2021 menerangkan bahwasanya pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sampang akan dilakukan di tahun 2025 secara serentak. Tentunya SK a quo tersebut telah berkesesuaian dengan konsepsi idil UU Desa yang dimana menurut Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU Desa bahwasanya Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota.
Sehingga dapat dipahami bahwasanya, UU Desa yang baru diubah melalui UU Nomor 3 Tahun 2024 ini tidak memiliki sangkut-pautnya dengan proses demokrasi yakni pemilihan kepala desa. Justru, jika Kabupaten Sampang tidak menyegerakan pemilihan kepala desa sebagaimana yang telah ditentukan secara yuridis Pemerintah Kabupaten Sampang telah melanggar konsep negara demokrasi dengan merampas hak politik warga Masyarakat Sampang dalam proses pemilihan pemimpin Desa.
Tidak hanya itu, H. Idi kerap menggunakan APH sebagai alat untuk menyandera bahkan merengkus warganya sendiri. Pemimpin otoriter semacam itu menafsirkan serangan-serangan itu sebagai ancaman serius dan pada gilirannya menjadi makin keras. Lagi-lagi menurut Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, kerusakan demokrasi tak perlu rencana. Sebaliknya, seperti dikesankan pengalaman Peru, kerusakan demokrasi bisa menjadi hasil serangkaian peristiwa tak terduga, saling balas yang memanas antara pemimpin demagog pelanggar norma dan tatanan politik yang terancam.
Apabila SK ini tidak dijalankan oleh Pemkab Sampang, sama halnya apa yang dikatakan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt “ hanya bisa omon-omon” dan kata-katanya jangan dianggap serius, bahkan sulit melaksanakan kata-katanya. Kerena kenaikan demagog kekuasaan cendrung membuat masyarakat terpolarisasi, menciptakan iklim kepanikan, permusuhan, dan saling tidak percaya.

