Asal : Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur
Kontemplasi fundamental aktualistik menjadi satu bagian yang tak bisa dipisahkan dalam dunia intelektual muda abad XX. Rasionalitas menjadi satu pendorong dalam berfikir logis pada berbagai tataran. Sebagai sistema aktif yang senantiasa terkait membuat fundamental aktualistik dan rasionalitas logis sangat diperlukan dalam aktualisasi realitas kehidupan intelektual muda Negara Indonesia.
Sudah sejak lama Muhammadiyah aktif dan konsen terhadap hal tersebut sebagai bentuk satuan normalitas yang difungsikan ketika berdirinya asset ormas hingga saat ini yaitu masuknya abad XX. Adanya ketimpangan sosial historis menjadi satu dasar ilham untuk menjalankan fungsi dengan keberagaman pola pikir saat itu. Kelemahan dalam berbagai faktor menjadi satu acuan untuk perbaikan intelektualisme dalam khasanah kepemudaan. Dilematik dalam sosial, politik, budaya, ekonomi, dan pemerintahan senantiasa menjadi perhatian muhammadiyah dalam bernalar sistemik.
Menjawab persoalan bangsa adalah pokok tujuan yang senantiasa dipegang oleh Muhammadiyah dalam merealisasikan tindakannya. Strategi yang digunakan dalam implementasi gerakan tidak semerta menghasilkan satuan teoritis melainkan menciptakan satuan praktis yang memberikan pengaruh besar dalam pencerahan di tataran masyarakat kepemudaan. Muhammadiyah memandang strategi sebagai taktik dalam membangun perdabadan secara luas pada konsensi muhammadiyah dalam kepemudaan internal dan kepemudaan global sebagai goal yang dimensial.
Muhammadiyah mengilhami gerakan fundamental yang bersifat visionaris dan berkesinambungan dalam rangka memberikan manfaat besar dalam landasan bersosialis yang tidak terbatas capaian. Ijtihad misi menjadi korelasi yang akurat dalam pengilhaman capaian dalam berorganisasi kepemudaan muhammadiyah. Hal tersebut sejalan dengan kaidah yang dianut yaitu kebermanfaatan tanpa menjadi beban dalam tindakan itulah Muhammadiyah dalam fundamental praktisnya. Berlomba untuk banyak meraih bukan lagi meraih yang banyak dalam realitasnya. Keteguhan itu masih menjadi satu proporsi yang ditekankan dalam bernalar.
Realitas 8 Dzulhijjah 1330 H yang bertepatan dengan 18 November 1912 M menjadi sistema reaktif dari lahirnya pergerakan yang hakiki. Islam modernis yang mendobrak khasanah kepemudaan dalam segala bidang menjadi buah manis kelahiran Muhammadiyah dalam perintisan gejolak. Menjadi bagian terbesar di Indonesia dalam kepeloporan ormas islam dalam rangka pemurnian yang diinisiasi oleh Ulama terpandang sekaligus pembesar bangsa yang fundamentalis yaitu K.H. Ahmad Dahlan atau yang disebut Muhammad Darwis yang merupakan priyayi Yogyakarta yang agamis dan berbudi pekerti luhur.
Diksi ”Muhammadiyah” secara makna etimologis berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan ”Muhammadiyah” menghubungkan ajaran dan jejak perjuangan dan realitas implementasi gerakan pembebasan Nabi Muhammad. Menurut H. Djarnawi Hadikusuma ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Visionarisnya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagaimana yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.” Relevansi tersebut tidak semerta menjadi satu logika apriarki yang memaksa ataupun mengharuskan adanya tindakan yang sepaham melainkan adanya kesukarelaan pada hakikatnya.
Muhammadiyah secara historis tidak seyogyanya manifestasi dari pola diktaktum pemikiran dan amal perjuangan Ahmad Dahlan yang secara realitas menjadi pemrakarsanya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Muhammad Darwis mulai menyemaikan tunas pembaruan dalam kehidupan Bangsa. Fundamental pembaruan itu diperoleh setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Makkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kiai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaharu Islam seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Kelebihan yang dimiliki secara diakronis yaitu kecerdasan serta interaksi yang kompleks selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaharu pemikiran Islam itu telah menanamkan sistema ide-ide pembaruan dalam diri Ahmad Dahlan. Jadi nalar yang tercipta pada dasarnya lebih kepada kebaharuan retorika berfikir yang implementatif dan logis bukan malah menjadi konservatif.
Pandangan yang reaktif sedianya digaungkan oleh Djarnawi Hadikusuma dalam memandang laju sistemtik visionaris muhammadiyah dalam pembaharuan yang bermakna luas dan dalam. Nalar logisnya adalah saat ummat islam dalam pola kemunduran akibat diskomunikasi dan distorsi pola pikir terhadap islam secara konsorsium justru membuat Muhammadiyah mengungkap dan meletakkan Islam sebagai bagian yang utama dalam tindakan berbangsa dalam rangkaian pemajuan dan pembaharuan normatif.
Langkah pembaharuan yang logis dan agamis menjadi satu bagian yang dipegang teguh dalam gerakan. Menurut Kuntowijoyo, gagasan yang dipelopori Ahmad Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36). Hal tersebut sejalan dengan pengilhaman fundamental aktualistik dan rasionalitas logis dalam pergerakan awal hingga masa kini yang telah memasuki abad XX pada konsepsi Intelektual muda yang realistik.
Bertolak pada berdirinya Muhammadiyah yang bereposisi pada hal sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luas, seyogyanya harus didukung dengan hal interkonektifitas dalam tataran muhammadiyah dan prespektif Intelektual abad XX sebagai kekuatan yang diplomatik dalam menjalankan keberlangsungan gerakan yang tidak mengenal arti kepuasan pencampaian dan prospektif masa tertentu.
Arti dari sebuah gagasan arbitrer dan sistematik tidak akan pernah dapat dipisahkan dalam nalar aktualistik dalam perkembangan sumber daya manusia yang dimensial, maka Intelektual Muda menjadi bagian yang aktif dan reaktif yang harus diaktualisasi berdasarkan jamannya dengan berbekal fundamental aktualistik dan rasionalitas logis agar tercipta hakikat pengembangan gerakan yang multi capaian dan tanpa hirarki hasil yang stagnan.(*)