Iklan

Banner Iklan Majalah Nusantara

Demokrasi di Tingkat Elit Mencederai Hati “Wong Cilik”

 

Penulis: Rofiud Darojah


Pengertian demokrasi secara etimologis berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti kekuasaan mutlak. Apabila di gabung maka mempunyai makna “kekuasaan mutlak yang dilahirkan oleh rakyat. Pengertian sederhana ini saya kira cukup memberikan pemahaman tentang apa itu demokrasi.


Pasca reformasi tahun 1998 kita sebagai suatu bangsa sudah menentukan pilihan tentang bagaimana cara memilih pemimpin. Hingga saat ini, kita meyakini cara memilih pemimpin yang kita pakai adalah cara yang paling baik untuk meminimalisir tindakan-tindakan penyalah gunaan kekuasaan melalui pemilihan umum yang kita singkat “pemilu”. 


Setiap lima tahun sekali, kita akan melihat para calon pemimpin menjual gagasan agar pemilih bisa mencoblos dirinya saat masa pencoblosan berlangsung. Mereka akan berlomba-lomba untuk bisa mengemban amanah sebagai petugas rakyat. Cara yang mereka gunakan cukup beragam, dari yang awalnya asing tiba-tiba bisa menjadi asyik hingga yang awalnya problematik tiba-tiba datang menjadi sosok yang solutif. Perubahan mendadak seperti ini gejala yang normal menjalang masa pemilihan.


Masyarakat mempunyai kemandirian untuk memilih calon sesuai cara pandangnya. Namun kecendrungan pemilih akan memilih yang mempunyai kedekatan dengannya, baik kedekatan emosional, kedekatan intelektual atau kedekatan finansial. Menjadi hal yang lumrah seorang keluarga akan memilih keluarganya, seorang yang berilmu akan memilih sosok yang mempunyai ilmu melebihi dirinya. Dan seorang yang mempunyai kebutuhan materi akan memilih sosok yang mencukupi kebutuhannya.


Naasnya, hal demikian tidak akan ada ketika terjadi musyawarah di tingkat elit. Mereka duduk bersama menentukan sosok yang akan menjadi pemimpin dengan berbagai pertimbangan politik dan pertimbangan transaksional (mungkin benar dan mungkin juga tidak). Tentunya cara memilih pemimpin seperti ini akan mengakibatkan pengendalian pemerintahan di segelintir golongan saja. Aristoteles menyebutnya dengan oligarki.


Menjalankan sistem yang demikian akan semakin menjauhkan pemerintahan dengan keadilan, kesejahteraan bersama dan tentunya mendekatkan kepada penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintahan oligarki hanya akan mementingkan kepentingan kelompoknya saja dan menghiraukan kepentingan “wong cilik” sebagai bagian dari masyarakat yang perlu di bela. Aristoteles juga menyebut sistem oligarki adalah wujud dari pemerintahan yang buruk.


Tradisi oligarki bisa saja tumbuh dan subur di suatu daerah yang menganut sistem demokrasi. Dengan istilah lain “demokrasi di tingkat elit”. Pada dasarnya kalimat tersebut memiliki arti yang kontradiktif. Karena makna “demokrasi dan makna “elit” mempunyai jarak yang cukup jauh. Namun sebagai suatu praktek hal itu bisa saja terjadi sebab, nilai-nilai demokratis masih belum tertanam di dalam diri kelompok elit. Demokrasi hanya dijadikan baju untuk menutupi kelakuan oligarki. Mereka akan mencari istilah agar tampak sebagai orang yang paling demokratis. Misalnya, politik gotong royong atau guyub rukun.


Previous Post Next Post

Iklan Atas Postingan

Iklan Bawah Postingan

Banner Iklan Majalah Nusantara