Oleh : Hanum Salvadila
Konflik masyarakat adat dengan pemerintahan terjadi kembali di awal bulan Juni kemarin. Viralnya poster ALL EYES ON PAPUA pada tanggal 02/03/24 kemarin merupakan salah satu bentuk penyuaraan dari masyarakat yang ingin menyuarakan pembelaan atas konflik yang terjadi di Papua. All Eyes On Papua dalam bahasa Indonesia memiliki arti “semua mata tertuju pada Papua”. Poster tersebut juga merupakan salah satu bentuk aksi protes terhadap perampasan hak yang dimiliki oleh masyarakat adat papua khususnya yang bertempat tinggal di hutan adat oleh PT Indo Asiana Lestari yang mengambil alih hutan adat yang akan dijadikan perkebunan sawit. Dengan poster ini menandakan bahwa masyarakat adat papua menolak tegas atas rencana pembabatan hutan adat seluas 36.000 hektar di hutan Boven Digoel. Apabila proyek tersebut terlaksana, hutan adat yang selama ini merupakan sumber penghidupan bagi mereka akan hilang dan terancam. Tidak sedikit warganet yang ikut menyuarakan bahwa hutan adat Papua akan dibabat oleh pejabat dan petinggi untuk perkebunan sawit.
Suku Awyu dan Woro adalah salah satu dari ratusan masyarakat adat di Papua merasa kehidupan mereka akan terancam oleh adanya proyek tersebut. Hutan adat di Papua telah dirubah menjadi perkebunan sawit terbesar di Indonesia melalui Proyek Tanah Merah yang dioperasikan oleh tujuh perusahaan. Pada saat itu pemerintah provinsi telah memberikan izin atas lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL), mengantongi izin seluas 36.094 hektar di hutan adat suku. Namun perizinan tersebut tidak diterima dengan baik oleh suku Awyu dan Woro yang akhirnya pemberian izin lingkungan tersebut yang kemudian digugat oleh Hendrikus Woro di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada Kamis 10/28/23. Namun sayangnya gugatan tersebut kalah, dan saat ini Mahkamah Agung (MA) merupakan harapan terakhir untuk menyelamatkan hutan adat mereka. Mereka berharap Mahkamah Agung agar mencabut izin lingkungan PT Indo Asiana Lestari.
Pada hari senin tanggal 27/05/24 masyarakat suku awyu papupa melakukan aksi di depan gedug Mahkamah Agung dengan tujuan untuk mempertahankan hak-hak mereka yang telah diambil.
"Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini," ungkapnya Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dikutip CNBC.
Pada tanggal 5 juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia merupakan momen untuk kita lebih memperhatikan konflik yang sedang terjadi di Papua terkait dengan pengalihan hutan adat menjadi perkebunan sawit. Konflik ini tidak hanya mengancam lingkungan hidup dan keberlanjutan ekosistem Papua, tetapi juga menimbulkan dampak sosial dan budaya yang serius bagi masyarakat adat yang bergantung pada hutan tersebut. Melindungi hutan adat dan mendukung alternatif pertanian berkelanjutan adalah langkah penting dalam menjaga keseimbangan ekologi dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Konflik hutan adat di Papua yang bermuara pada konversi lahan menjadi perkebunan sawit adalah gambaran nyata dari kompleksitas tantangan lingkungan hidup yang dihadapi di seluruh dunia, yang terus memburuk seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan akan sumber daya alam.
Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang diperingati setiap tahunnya, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keberlangsungan lingkungan alam demi kesejahteraan manusia dan ekosistem. Dalam konteks Hari Lingkungan Hidup Sedunia, kita harus memperkuat kesadaran akan pentingnya melindungi hutan dan hak-hak masyarakat adat sebagai bagian dari upaya menjaga keberlanjutan lingkungan hidup. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk menciptakan solusi yang menguntungkan semua pihak dan memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Perlindungan hutan adat di Papua dan di seluruh Indonesia bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga masalah hak asasi manusia, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekonomi. Melalui pendekatan holistik yang menggabungkan aspek lingkungan, sosial, dan hukum, kita dapat bergerak menuju solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat, sehingga masyarakat adat dapat terus menjaga warisan alam mereka sambil berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan.