Opini | Jum'atan Politik !
Oleh : Mun'im Sirry*
Apakah aksi dzikir dan salat Jum’at di Monumen Nasional
besok merupakan refleksi semakin menguatnya penggunaan simbol-simbol agama
dalam menyalurkan aspirasi politik? Tak ada yang akan mengatakan tidak.
Mengapa salat Jum’at dan di ruang publik seperti Monas?
Pertanyaan ini juga tidak sulit dijawab karena salat Jum’at merupakan momen
mudah untuk memobilisasi massa besar, sementara ruang publik menggambarkan
arena kontestasi politik yang terbuka. Maka, jadilah Jum’atan politik!
Perselingkuhan politik dan agama sudah lama menjadi
perbincangan akademis dan umum. Tetapi, salat dan politik? Ini fenomena cukup
baru. Gelombang protes besar yang mengiringi revolusi Arab Spring 2011 bermula
dari masjid sehabis salat Jum’at. Dari Suriah, Tunisia hingga Mesir, massa
bergerak setelah salat Jum’at untuk menggaungkan tuntutan politik penggantian
rezim. Sayangnya, ekspektasi Arab Spring akan mengantarkan pada perubahan rezim
yang lebih demokratis telah kandas menjadi kekecewaan dan frustrasi.
Saya tidak tahu sejauhmana demonstrasi 4 November dan 2
Desember yang sama-sama bermuara dari arus massa salat Jum’at diinspirasikan
oleh fenomena Arab Spring yang gagal itu. Jum’atan, 2 Desember, di Monas, yang
dikenal dengan demo 212 (angka ini sebelumnya lebih akrab dengan Wiro Sableng
atau pendekar 212), punya makna politik lebih tinggi karena sedari awal memang
dirancang untuk tuntutan politik tertentu. Apalagi, sebelumnya, Jam’atan ini
direncanakan diadakan di Jalan Sudirman-Thamrin, yang menuai reaksi keras dari
tokoh-tokoh agama.
Mungkin saja sebagian besar jamaah salat Jum’at, termasuk
santri-santri yang didatangkan dari luar Jakarta, itu tulus hendak melakukan
ibadah salat demi bermunajat dengan Tuhan. Tapi, aktor-aktor agama dan politik
yang menggagas demo 212 itu jelas disatukan oleh satu niatan politik yang sama.
Bagaimana momen spiritual Jum’atan telah menjelma menjadi arena politik yang
unik?
Salat dan Politik Sekuler
Dari sudut pandang teori politik, batasan antara “yang
religius” dan “yang politis” masih terus menjadi pendebatan akademis. Bahkan,
mereka yang bergolong agamis sendiri kerap bertanya di mana lokasi batasan
antara kehidupan spiritual dan politik. Apakah batas kehidupan spiritual
berakhir di garis ketika seseorang memasuki apa yang disebut “ruang publik”?
Ataukah garis itu tetap tersembunyi dalam lokasi yang tidak terjangkau di dalam
jiwa?
Perbincangan tentang dua pertanyaan di atas telah menggiring
para teoritisi mendiskusikan sejauhmana aktivitas politik mempengaruhi
kehidupan spiritual seseorang dan vise-versa. Dalam banyak literatur tentang
agama dan politik, asumsi yang banyak dianut ialah tidak adanya hubungan antara
realitas politik dan spiritualitas salat. Walaupun agama dan politik kerap
berselingkuh atau bahwa agama punya hubungan dekat dengan politik, tapi salat
dianggap ekstrinsik dari kehidupan politik.
Kasus “Jum’atan politik” ini patut direnungkan sebagai bahan
merevisi teori politik tentang hubungan salat dan politik. Sangat jelas
Jum’atan di Monas itu berdimensi politik dan memang diniatkan untuk
menyampaikan aspirasi politik. Kaitan antara salat Jum’at dan tuntutan politik
mereka jelas menggambarkan bahwa para jama’ah Jum’at tersebut merupakan
makhluk-makhluk politik yang menggunakan instrumen salat sebagai alat untuk
menekan pihak pemerintah, terutama kepolisian, mengabulkan ambisi politik
sekuler mereka menjelang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Dengan kata lain, para aktor politik telah menjadikan salat
Jum’at sebagai wilayah politik (political site) untuk memenuhi hasrat dan
ambisi kekuasaan. Salat, dalam dirinya sendiri, sebenarnya tidak inheren
bersifat politis, tapi akan berdampak politik dahsyat karena adanya gerakan
inspirasi dan emosional (emotional impulse) yang dihasilkannya.
Dalam banyak studi disebutkan, kalangan konservatif lebih
condong menggunakan aspek-aspek kehidupan spiritual, seperti salat, untuk
tujuan politik. Dan mereka cukup aktif menyalurkan aspirasi politiknya lewat
pemilu. Di Amerika Serikat, misalnya, kalangan Kristen evangelis dan
fundamentalis terbilang paling aktif memberikan hak suaranya, jauh melebihi
kalangan liberal. Mereka cenderung mengadopsi perasaan terancam dari politik
sekuler dan karena itu doa-doa mereka menekankan permohonan perlindungan Tuhan.
Poin terakhir ini juga tampak dalam doa dan dzikir politik
kaum Muslim konservatif di Indonesia. Coba perhatikan bagaimana mereka berdoa
dan salat. Aspek paling menonjol ialah mohon perlindungan Tuhan dari segala
bentuk penyimpangan di sekitarnya. Bagi kaum konservatif, Tuhan dan
pemerintahan yang baik seharusnya melindungi setiap orang dari beratnya bahaya
dan godaan duniawi.
Politik Sekuler Tunggangi Agama
Lalu, kenapa mereka turut menggunakan momen spiritual salat
untuk mencapai tujuan kekuasaan duniawi? Itulah kompleksnya hubungan antara
agama dan politik.
Dalam banyak literatur mutakhir, istilah “agama” dan
“sekuler” sudah tidak lagi dibentur-benturkan. Pandangan yang menganggap sekularisasi
akan mengakibatkan agama tersingkir dari percaturan politik ternyata tidak
terbukti.
Sosiolog kenamaan Jose Casanova sempat menghentak perhatian
banyak sarjana lewat karyanya Public Religions in the Modern World (1994).
Lewat bukunya ini, Casanova mengungkap kegagalan tesis sekularisasi. Jika
istilah itu dipahami sebagai “diferensiasi”, “privatisasi” dan “kemerosotan”
agama, hanya pengertian pertama yang masih benar. Belakangan, Casanova merevisi
pandangannya, bahkan perngertian sekularisasi sebagai diferensiasi pun tak lagi
dapat dipertahankan.
Baginya, dunia modern ternyata bukan hanya ditandai oleh
maraknya peran agama di ruang publik, melainkan juga diwarnai dengan
perselingkuhan agama dan politik yang kian terbuka.
Dahulu, ketika agama jadi panglima, ia kerap dituduh sebagai
biang kerok segala bentuk kekerasan dan konflik. Maka, muncullah ide
sekularisme yang hendak menempatkan agama di ruang sempit (private sphere)
supaya tidak lagi menyulut perang. Apakah perang dan kekerasan berkurang? Sama
sekali tidak, kata William Cavanaugh dalam The Myth of Religious Violence
(2009).
Cavanaugh mengajak kita merenungkan dan menyadari bahwa
perang agama sebenarnya tidak dilancarkan oleh para pastur atau romo, melainkan
oleh para raja dan bangsawan (nobles) untuk menancapkan cengkeraman kekuasaan
mereka. Demikianlah, agama selalu ditunggangi aktor-aktor politik yang tahu
betul bagaimana menggunakan sisi emosional massa untuk mewujudkan ambisi
politik sekuler.
Casanova juga membenarkan argumen Cavanaugh. Kendati
pemisahan gereja dan politik terjadi di Eropa, kata Casanova, periode sejak
tahun 1914 hingga sekarang tercatat sebagai abad paling berdarah dan “ini
merupakan produk ideologi-ideologi sekuler modern.”
Apa yang terjadi dengan “demo 212” juga sama. Para pendekar
politik “Wiro Sableng” 212 di abad ke-21 memahami kesaktian salat Jum’at untuk
dijadikan senjata ampuh menekan dan melumpuhkan lawan-lawan politik. Para
jamaah Jum’at mungkin tidak menyadari bahwa ideologi-ideologi sekuler berada di
balik setiap lafaz “takbir” yang dikumandangkan untuk menggelorakan emosi
mereka.
Semua orang tahu apa yang menjadi sasaran demo 212:
memenangkan calon gubernur mereka dalam Pilkada DKI. Itu saja. Bahwa mereka
mengemas dengan isu “penodaan agama” memperlihatkan betapa ampuhnya penggunaan
sentimen agama dalam pemenuhan syahwat politik sekuler. Slogan “bela Islam”
dalam aksi Jum’atan politik itu sebenarnya tak lebih dari mitos belaka.
*Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre
Dame, USA. Dua karyanya berjudul "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab
Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015) dan "Scriptural Polemics:
The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Sumber : Geotimes.co.id