Penulis : Samsul Arifin, S.Pdi
Beberapa waktu lalu di Kutai Timur dan Prabumulih ada
gerakan sosial, yang menyatakan jika ada pihak yang dapat menangkap pelaku
"money politics" akan memberi hadiah 10 juta rupiah. Gerakan sosial politik yang dimotori oleh para pemuda dan
aktivis partai ini secara tidak langsung juga mengindikasikan keraguan kinerja
Bawaslu dalam menyelesaikan persoalan kecurangan pemilu yang dinilai
berlangsung sistematis, masif dan terstruktur.
Terakhir yang cukup merisaukan adalah hasil survei PUSAD Universitas
Muhammadiyah Surabaya, yang menyampaikan temuan, bahwa 98% masyarakat
menyepakati, bahkan berharap politik yang lebih baik. Maka persoalannya, bagaimana kewenangan konstitusional dan
mekanisme Bawaslu dalam penyelesaian hukum politik uang? serta sejauh mana
paran dan integralitas peran sentra Gakumdu?
Krisis Hukum Politik
Persoalan penyelesaian pelanggaran hukum politik uang dalam
pemilu yang dinilai sudah sistematis, masif dan terstruktur perlu penyelesaian
dengan pendekatan holistik, terpadu dan terstruktur.
Sementara dalam Undang- Undang Nomor 7 tahun 2017, tentang
Penyelenggaraan Pemulihan Umum, indikasi kewenangan Bawaslu masih bersifat
normatif, belum memiliki implikasi kewenangan yang luas, belum lagi menyangkut
keterbatasan sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya manusia maupun
sumber daya kapasitas struktural.
Melihat kondisi yang serba terbatas, maka penguatan Bawaslu
membutuhkan tata aturan yang tegas tentang koneksitas antar lembaga yang
memiliki kewenangan yuridis, baik dalam proses pencegahan, penyelisikan maupun
dalam penindakan.
Melihat peta perkembangan permasalahan politik uang yang
berjalan sistematis, seakan peran Bawaslu dan Gakumdu semakin absurd, karena
para penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu akan tersandera oleh berbagai
kepentingan politik. Maka ditengah gemuruhnya praktik politik uang, ada desakan
sebagian publik untuk mereduksi eskalasi modus operandinya.
Untuk memenuhi desakan publik tersebut, maka membutuhkan
penguatan regulasi yang mengelaborasi praktik politik uang menjadi bagian dari
tindakan korupsi politik, sehingga secara kelembagaan dalam mencegah,
menyelidik dan menindak juga harus menyertakan kelembagaan KPK dalam Gakumdu.
Menyertakan KPK dalam Gakumdu menjadi kerangka strategis
untuk melakukan pencegahan, karena asumsi dalam politik uang sudah mengandung
unsur 'mens rea', niat jahat, melakukan korupsi untuk pengembalian modal
politik.
Selain itu, banyak fakta, bahwa politik uang menjadi pola
relasi sistem ijon para pengusaha dan politisi yang berencana mengeruk keuntungan
dari permainan anggaran belanja pemerintah.
Sehingga kerangka sistematis melibatkan KPK dalam Gakumdu,
selain untuk mengedukasi dan mencegah kerja sistematik korupsi, juga untuk
memperkuat proses demokrasi yang berbudaya dan betmartabat.
Akan tetapi proses penguatan regulasi pemberantasan politik
uang menghadapi hambatan inisiasi dari sebagaian politisi yang selama ini
mendapat keuntungan ekonomi dan politik dari modus politik uang. Maka dapat dipastikan pembahasan perumusan pencegahan dan
pemberantasan politik uang akan menhagadapi tantangan sistematik dari berbagai
pihak yang memiliki kepentingan politik.
Mudus Politik Uang.
Problem "money politics" seakan menjadi permasalahan klasik
dalam setiap kontestasi pemilu. 'Money Politics' atau politik uang, pada skala
tertentu menjadi 'common enemy', musuh bersama bagi para penggiat demokrasi
bersih, tapi pada saat yang sama, bagi sebagaian masyarakat, justru menjadi
kenduri, mereka menunggu 'angpao' politik tersebut.
Kondisi pasar politik uang kemudian berkembang menjadi
hubungan simbiosis mutualisme, hubungan kongsinasi pedagang dan pembeli,
hubungan ini berlanjut membentuk eksklusifutas nalar dan sistem politik,
puncaknya mereka berhasil menanamkan doktrin kapitalisme politik dan keluar
dari nalar etika moral. Mereka semua menyusun siasat menghalakan segala cara
merebut elektoral untuk meraih kekuasaan.
Pembajakan proses demokrasi yang bermula sarat akan nilai
seketika berubah wajah menjadi perkumpulan para petualang untuk mencari
keuntungan ekonomi dan perebutan kekuasaan semata. Kolaborasi ini yang kemudian
menghadirkan persekongkolan pengusaha dan pengusaha untuk melanggengkan
keuntungan dan kekuasaan.
Kerja sistematik pragmatisme elit ini kemudian berkembang
melahirkan substruktur pada tingkat menengah dan bawah, karena konsolidasi
yang kuat karena ditopang kekuatan finansial dan kekuasaan birokrasi, lambat
laun perilaku politik uang membangun sistem yang semakin kokoh. Karena
masifitas nalar hubungan kebutuhan ekonomi dan kekuatan modal sehingga menjadi
perilaku budaya.
Karena kekuatan dan kekuasaan yang semakin meluas, politik
uang beroperasi pada kuasa pengendalian birokrasi pemerintah, legislatif,
penyelenggara pemilu serta oknum aparat penegak hukum. Pada bagian lain para pemangku kepentingan politik uang juga
berupaya membungkan kekuatan sosial kontrol, baik media, LSM, maupun tokoh
masyarakat.
Padahal dampak sistematik dari politik uang, akan melahirkan
para kroni politik untuk menggerogoti keuangan negara yang seharusnya untuk
mengembangkan dan membangun sektor-sektor publik.
Sehingga kerja politik uang merupakan bagian dari kerja yang
menghambat kesejahteraan masyarakat, dan merupakan manifestasi untuk
menciptakan kemiskinan sistematik.
Kita bisa menghitung keuntungan uang para politisi dan
kerugian masyarakat, karena dalam satu paket proyek saja akan berbeda antara
yang tertulis dalam draft anggaran dan realisasinya, jumlah yang seharusnya
100% untuk kepentingan publik akan berkurang hingga 30-40%, itu diluar pajak.
Fakta pembenaran ini bisa dilihat dari banyaknya para
pejabat dan politisi yang terjerat kasus korupsi dan gratifikasi.
Padahal akibat politik uang yang ditimbulkan akan berdampak
pada anomali transparansi pengelolaan anggaran, melemahnya pertumbuhan ekonomi,
menghambat pembnagunan sumber daya manusia, menghambant proses pembangunan
kuantitas dan kualitas infratruktur, serta menurunnya pencapaian kesejahteraan
ekonomi msyarakat.
Maka dalam kondisi kongsinasi politik uang yang semakin
menguat, masihkan peran bawaslu, maupun Gakumdu masih efektif?.