MENANTANG KEBERANIAN PARA YANG MULIA
Pengalihan status Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok sebagai terdakwa, dalam kasus dugaan tindak pidana penodaan agama kini
berada di tangan lima majelis hakim. Berkas kasus bernomor 1537/Pid.B/2016/PN
JKT.UTR akan di sidangkan mulai Selasa pekan depan (13/12/2016). Seperti halnya
kasus kopi sianida, masyarakat diminta bersabar, menunggu sambil terus
mengamati, tanpa harus melakukan intervensi ataupun social trust dalam
penegakan kasus hukum.
Amanat konstitusi kita menegaskan, bahwa
Indonesia adalah negara hukum, maka prinsip penting kekuasaan kehakiman harus
benar-benar merdeka, bebas dari pengaruh pihak manapun, guna menegakkan hukum
dan keadilan. Lantas seberapa besar keberanian para yang mulia dalam kasus ini,
sebab tugas hakim menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan
rakyat Indonesia.
Basuki Tjahaja Purnama sebelumnya merasa tidak
pernah menghina ayat suci dalam Al Quran. Ia menilai video berisi ucapannya
yang menyebut Surat Al Maidah ayat 51 saat kunjungan kerja di Kepulauan Seribu
telah disalahgunakan dan di salah artikan. Dalam pembelaan dirinya gubernur nonaktif menjelaskan kepada
masyarakat di Pulau Seribu “kalau kalian dibodohi oleh orang-orang rasis,
pengecut, menggunakan ayat suci itu untuk tidak pilih dirinya”, alasan yang
kedua ucapan yang menyebut Surat Al Maidah ayat 51 disebabkan ayat tersebut
kerap digunakan oleh lawan politik untuk menyerangnya, apa lagi saat ini dia
sebagai petahana dalam Pilgub DKI 2017.
Anomali Pengunaan UU
Pada UU PNPS No 1 Tahun 1965 Pasal 1,
disebutkan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari
agama itu.
Dalam perjalanan kasus hukumnya, Basuki Tjahaja
Purnama hanya dijerat oleh kejaksaan dengan dakwaan alternatif, yakni Pasal 156
dan 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada Pasal 156 huruf a KUHP,
Ahok terancam hukuman 5 tahun penjara. Sementara untuk Pasal 156 KUHP, ia
terancam hukuman lebih ringan, yaitu 4 tahun penjara.
Anomali atau ketidak wajaran patutnya kita
kritisi bersama, jaksa lebih memilih pasal 4 dari pada pasal 1 UU PNPS No 1
Tahun 1965. Dalam situs Kompilasi Hukum Pidana Indonesia yang diluncurkan Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham, tertulis bahwa Pasal 156a KUHP
merupakan isi dari Pasal 4 Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Penggunaan pasal 156a dalam KUHP kurang begitu
tepat. Pasal tersebut, hanya memiliki unsur perbuatan orang di muka umum yang
mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang bersifat permusuhan atau
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Pemaknaan pasal 156a bahwa perbuatan itu dimaksudkan supaya orang tidak menganut
agama apa pun atau tidak menganut suatu agama yang resmi di Indonesia. Maka
pasal ini tidak bisa digunakan sebab Ahok tidak ada maksud untuk orang itu
berpindah agama.
Sesungguhnya delik yang tepat untuk menjerat gubernur
nonaktif adalah pelanggaran pasal 1. Untuk itu jika ucapan terdakwa dianggap telah menista
agama, namun ucapan tersebut tidak dapat serta merta mengakibatkan terdakwa
dikenakan status tersangka. Karena kedua ketentuan hukum tentang penistaan
agama mensyaratkan bahwa harus ada tahapan Peringatan Keras terlebih dahulu,
sebelum dilakukan pemidanaan.
Ada tingkatan sanksi yang dijatuhkan atas
pelanggaran Pasal 1 UU No 1 tahun 1965 ini, yakni jika terbukti melanggar maka
akan diberikan sanksi administratif berupa peringatan, apabila setelah diberikan
Sanksi Administratif masih tetap melakukan pelanggaran, maka akan dijatuhkan
sanksi pidana penjara maksimum 5 (lima) tahun sebagaimana Pasal 3.
Dengan demikian secara awampun kita sudah bisa
menilai Anomali bagaimana kedudukan kasus hukum yang telah di sangkakan. Basuki
Tjahaja Purnama sudah meminta maaf pada tanggal 10 Oktober 2016 dan 11 Oktober
2016 MUI baru menegurnya, maka delik pidana yang disangkakan menjadi tidak
sempurna kecuali setelah diperingatkan, tapi peringatan diabaikan.
Kita juga harus memahami bahwa dalam konteks hak asasi manusia, Pasal 18
Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia lewat UU No 12 Tahun
2005, telah menjamin kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Kebebasan
ini dengan batasan tidak boleh mengganggu hak orang lain untuk berpikir,
berkeyakinan dan beragama. Basuki Tjahaja Purnama merupakan subyek
hukum, untuk itu perlindungan
harus diberikan kepada orang sebagai subjek, bukan kepada pikiran, keyakinan,
atau agama sebagai objek. Sedangkan yang diatur oleh Pasal 156a KUHP ini adalah
perlindungan terhadap objek.
Ahok di
Ujung Palu Majelis Hakim
Pada proses di pengadilan, jaksa maupun
pengacara akan berusaha meyakinkan majelis hakim untuk mencari jawaban apakah
ada niatan, maksud atau voornemen
Basuki Tjahaja Purnama untuk melakukan penghinaan terhadap agama, dengan menghadirkan
ahli hukum, ahli bahasa dan juga agama.
Maksud atau niat tidak bisa disamakan dengan
kesengajaan. Niat adalah sikap batin yang memberi arah tertentu kepada
perbuatan yang dilakukan. Suatu sikap batin yang menunjuk kepada suatu arah
tertentu, mungkin menjadi kesengajaan, jika diwujudkan atau dilakukan dengan
perbuatan.
Tugas seorang jaksa adalah membuktikan apakah benar
terdakwa Basuki Tjahaja Purnama telah melakukan penodaan agama, sebab secara doktrin hukum pidana, haruslah
dibuktikan dua hal, yakni mens rea atau niat, dan actus reus atau
perbuatan. Terkait mens rea, mengunggah video tentang kegiatan gubernur
ke YouTube tidak ditemukan niat jahat, maka sebagaimana penjelasan
diatas, dia tidak ada maksud untuk itu.
Berat atau ringannya hukuman yang dijatuhkan
terhadap terdakwa adalah wewenang judex
facti. Maajelis hakim harus berani menerapkan hukum karena dalam palunya
kita bisa melihat pertarungan antara politik hukum dengan kepentingan penegakan
hukum, selain itu dalam persidangan nantik Majelis hakim harus berani
meluruskan anomali hukum dalam kasus ini.
Politik hukum sering dipengaruhi opini publik.
Jika politik hukum yang dibangun lebih banyak pada opini public maka ini bisa
berbahaya, sebab independensi dan kemerdekan hakim akan tersandra. Apalagi jika
opini publik itu di jadikan landasan
pengambilan keputusan oleh majelis hakim, ini kan menodai prinsip dari negara
hukum. Hakim tidak boleh terpengaruh kepentingan penguasa dan intervensi opini
publik. Hakim bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada social trust. Maka sebagai wakil
tuhan, kini Ahok menantang keberanian para yang mulia, sebab di ujung palu
majelis hakim, dia menunggu keadilan di republik ini.
*Dosen Ilmu Politik
FISIP UNIROW (Mahasiswa Program Doktor UNS Solo)
shodikin.unirow@gmail.com
085852456350