Peringati Hari Tani Nasional
Mewujudkan Reforma Agraria Sejati
Oleh : Rizal Haqiqi*
Hari Tani Nasional dirayakan dengan suka
cita setiap tanggal 24 September setiap tahunnya trutama oleh kaum tani
Indonesia. Ditilik dari sejarahnya, peringatan Hari Tani Nasional ini
mencerminkan harapan yang amat besar. Pada tahun 1960, Presiden RI Soekarno
menetapkan Undang-Undang (UU) No. 5/1960–yang lebih dikenal dengan UU Pokok
Agraria. UU inilah yang menjadi harapan besar untuk redistribusi tanah, air dan
benih serta kekayaan bangsa bagi rakyat Indonesia. UUPA no.5 tahun 1960 sebagai
karya revolusioner bangsa Indonesia dibidang agrarian membawa konsep ideal
tentang pengaturan hukum agrarian yang sarat dengan anti penjajahan dan
penindasan, menampilkan dengan jelas identitas bangsa dalam hukumadat,
menguatkan jiwa kesatuan dan persatuan serta adanya penegasan tentang hak
menguasai dan distribusi oleh Negara yang bertujuan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia. Selain daripada itu UUPA dalam pengaturan
keagrariaan sudah sesuai dengan dasar ideology nehara dan jiwa bangsa kita;
Pancasila, yang berwatak prismatic (Ahmad Sodiki: 2013). Dalam konteks ini
hukum keagrariaan dalam UUPA telah berhasil memadukan secara baik konsep
prismatika yakni memadukan unsure-unur yang baik antara paham individualism dan
paham komunalisme. Secara definisi reformasi agrarian adalah penataan ulang
atau restrukturasi kepemilikan, pengusaan serta penggunaan sumber-sumber
agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil
atau golongan ekonomi lemah umumnya yang terangkum dalam pasal 6-17 UUPA 1960.
Kenyataanya 56 tahun sejak UUPA disahkan,
nasib kaum tani Indonesia tidak banyak berubah, masih miskin dan terus
dipinggirkan. Berbagai persoalan dihadapi oleh kaum tani dan rakyat Indonesia,
baik bersifat daerah, nasional maupun internasional. Penggusurn paksa dan
perampasan hak atas tanah di berbagai daerah, kekerasan dan penangkapan paksa,
pendudukan lahan dan reclaiming hingga kebijakan tukar guling lahan antara
pemerintah daerah dan pengembang yang merusak ekosistem, bencana alam, hingga krisis
pangan yang saat ini kita rasakan bersama. Sepanjang sepuluh tahun (2004
-2014), kejadian konflik agraria di tanah air terus menunjukkan peningkatan.
KPA mencatat telah terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh wilayah Republik
Indonesia, dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar, dimana terdapat lebih
dari 926.700 kepala keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik
berkepanjangan. Masalah sektoralisme kebijakan dan kelembagaan dalam hal
pengelolaan sumber-sumber agraria menjadi penyumbang konflik-konflik yang
terjadi. Berdasarkan sektor, maka konflik agraria yang terjadi di sektor
perkebunan sebanyak 536 konflik, bidang infrastruktur 515 konflik, sektor
kehutanan 140 konflik, sektor tambang 90 konflik, sektor pertanian 23 konflik,
pesisir-kelautan 6 konflik dan lain-lain. Ketidakberpihakan pemerintah kepada
masyarakat yang tengah berkonflik, tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta
pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam
penanganan konflik agraria yang melibatkan kelompok masyarakat petani dan
komunitas adat telah mengakibatkan 1.354 orang ditahan, 553 mengalami
luka-luka, 110 tertembak peluru aparat, serta tewasnya 70 orang di
wilayah-wilayah konflik tersebut selama periode 2004–2014 (Data Konflik KPA, 2014).
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menghitung bahwa persoalan konflik agraria
telah menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Luas tanah produktif
obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan atau tidak digunakan secara
optimal seluas 607.886 hektar atau seluas 6.078.860.000 m2. Secara ekonomi,
nilai tanah yang menjadi obyek sengketa, jika kita hitung dengan NJOP tanah
terendah (Rp.15.000), maka kerugian Negara telah mencapai Rp. 91,1829 Triliun.
Nilai tersebut, menurut BPN, jika dihitung dengan mempergunakan rumus periode
pembungaan selama 5 tahun dengan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10 %,
maka diperoleh nilai ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp.146,804 Triliun. Di
bidang perundang-undangan, dilahirkan produk aturan yang bertentangan dengan
UUPA, sehingga muncul berbagai konflik agraria yang justru mengarah pada
kepentingan imperialism (neoliberlisme) dengan memberikan kemudahan-kemudahan
bagi perputaran akumulasi modal. Sebagai contoh adanya UU penanaman modal UU
no. 25 tahun 2007 (menggantikan UU No. 11 tahun 1970 dan UU No. 6 Tahun 1968
tentang penanaman modal dalam negeri yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 1970).
Sementara itu, Pemerintahan Jokowi-JK melabeli salah satu program di RPJMN
sebagai reforma agraria. Salah satu program yang tertuang dalam Nawa Cita
pemerintahan Jokowi-JK dalam sektor pertanian adalah meningkatkan kepemilikan
petani atas tanah pertanian menjadi rata-rata 2 hektar (saat ini masih di bawah
0,75 hektar), dan meningkatkan swasembada pangan dalam rangka ketahanan pangan.
Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah berencana untuk melakukan
redistribusi tanah seluas 9 hektar yang akan menjadi tanah bagi petani. Tanah
ini dapat berasal dari tanah di bawah otoritas Badan Pertanahan Nasional (BPN),
atau tanah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, serta adanya pengakuan
hak ulayat masyarakat hukum adat. Nyatanya hingga hari ini nawacita tersebut
menguap begitu saja dan secara tegas bisa dismpulkan pemerintah melaksanakan
Reforma Agraria Palsu.
Di Surabaya konflik agraria banyak
melibatkan warga , pengembang dan kebijakan sepihak pemkot. Hal tersebut dapat
dilihat dari salah satu contoh kasus sengketa Pemindahtanganan Dengan Cara
Tukar Menukar Terhadap Aset Pemerintah Kota Surabaya Berupa Tanah Eks.
Ganjaran/ Bondo Desa di Kelurahan Beringin, Kecamatan Lakarsantri, Kelurahan
Jeruk, Kecamatan Lakarsantri, Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Pakal, Kota
Surabaya. Dengan Tanah Milik PT. Ciputra Surya. Pembangunan SSC Gelora Bung
Tomo merupakan titik awal permasalahan sengketa waduk sepat Lidah Kulon. Hal
tersebut terjadi dikarenakan dalam proses pembangunan Gelora tersebut, lahan
yang digunakan sebagian besar merupakan lahan milik PT.Ciputra Surya. Adanya
permasalahan lahan tersebutlah yang membuat pemerintah kota Surabaya
mengeluarkan Surat Keputusan Walikota dan Surat Keputusan DPRD kota Surabaya SK
Walikota Surabaya Nomor 188.451/366/436.1.2/2008 dan SK DPRD kotaSurabaya Nomor
39 Tahun 2008 tentang pemindah-tanganan beberapa asset lahan milik pemerintah
kota kepada PT. Ciputra Surya sebagai ganti lahan pembangunan Gelora Bung Tomo.
Dalam analisis secara teoritik dapat digambarkan bahwa pola penguasaa lahan
yang dilakukan oleh PT. Ciputra Surya adalah menggunakan konsep clustering
dengan firm yang ada di dalamnya yaitu perusahaan pengembang yang bernama
Citraland melalui proses pengkaplingan tanah dibeberapa wilayah di Surabaya
Barat. Penguasaan lahan yang dilakukan oleh Citraland tersebut secara tidak
langsung juga mendominasi kepemilikan lahan yang ada di wilayah Surabaya Barat.
Hal ini terbukti dengan adanya sengketa Waduk Sepat Lidah Kulon perihal
kepemilikan lahan yang dimiliki oleh PT. Ciputra Surya. Dari sini dapat
terlihat bahwa kekuatan – kekuatan yang dimiliki oleh firm – firm dalam
clustering yang dimiliki oleh PT. Ciputra Surya, mampu mempengaruhi kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga memunculkan persepsi didalam kota
ada kota, yang dibangun mandiri oleh pengembang yakni Ciputra. Belum lagi
kasus-kasus lainya seperti kalmias dengan PT.KAI, Kaputih dengan Pakuwon Group.
Dari ulasan tersebut, maka dengan tegas
hasil analisa dan kenyataan dilapangan, menuntut adanya perbaikan yang sinergis
antara pusat dan daerah , Adapun poin – poinnya antara lain :
1. Menuntut pemerintahan Jokowi-JK untuk
melaksanakan reforma agraria sejati.
a. Secara tegas dan khusus, kami menuntut
pelaksanaan reforma agraria yang berlandaskan UUD 1945 pasal 33 dan UUPA
No. 5 tahun 1960.
b. Pengkajian kembali regulasi agraria
yang bertentangan dengan UUPA no. 5 Tahun 1960, seperti UU UU no. 25 tahun
2007 maupun regulasi daerah yang tumpang tindih.
2. Menuntut pemerintahan Jokowi-JK untuk
segera menyelesaikan kasus-kasus agraria
a. Untuk itu, dengan melihat fakta
kebuntuan penyelesaian konflik agraria di tanah air selama ini, maka
Pemerintahan Jokowi-JK harus segera membentuk sebuah badan/lembaga khusus
yang bersifat adhoc untuk menyelesaikan konflik agraria secara menyeluruh.
Dasar hukum penyelesaian konflik agraria melalui pembentukan “lembaga penyelesaian
konflik agraria adalah: 1) UUD 1945 (hasil amandemen ke-4); 2) TAP MPR RI
No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumbedaya Alam yang
Berkelanjutan: 3) UU No. 39/1999 tentang HAM; dan 4) Keputusan Mahkamah
Konstitusi No. 35/PUU-X/2012. ketua dpc gmni surabaya rizal haqiqi
menambahkan bahwasanya konflik agraria di wilayah perkotaan lebih rumit karena
melibatkan banyak pihak ketiga dan pengembang sehingga dalam proses pembebasan
lahan yg terjadi di lapangan tidak sesuai dengan UUPA yang harusnya memang
benarbenar membela kepentingan rakyat dan bukan malah memihak pada pengembang.
Untuk itu dpc gmni surabaya menganggap sangatlah penting bagi pemerintahan
jokowi jk untuk menerapkan reforma agraria sejati demi kedaulatan dan kesejahteraan
rakyat. Selain penetapan reforma agraria sejati pemerintah juga harus
menyiapkan sosialisasi secara tepat kepada masyarakat untuk memberikan wawasan
terkait konflik konflik agraria yg terjadi sehingga masyarakat tau dan sadar
ada prosedur dan hal administratif apa yg harus dilakukan ketika terjadi
konflik konflik terkait agraria dan lahan
Demikian hasil kajian kami selaku
penyambung lidah rakyat dalam peringatan Hari tani 2016 dan untuk menjadi
perhatian semua pihak. Dengan ini secara khusus DPC Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GmnI) Kota Surabaya menyerukan kepada seluruh organisasi rakyat,
baik petani, buruh, kaum perempuan, mahasiswa dan masyarakat miskin perkotaan
untuk bersatu dan mendukung rangkaian aksi serentak pada momen hari tani
nasional 2016, Mari bekerja. Bergotong-royong. Demi pembaruan agraria sejati,
demi kedaulatan pangan rakyat. Dan Demi terwujudnya keadilan sosial bagi
seluruh rakya Indonesia.
*Penulis adalah Ketua Cabang GmnI Surabaya